Kasus stunting atau kegagalan pertumbuhan fisik dan mental pada anak akibat kekurangan gizi dalam waktu lama, di Kabupaten Wonosobo masih tergolong tinggi. Belum lama ini, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah bahkan menyebut prosentase stunting di Kabupaten Wonosobo merupakan yang tertinggi di Jateng, yaitu mencapai 27,17 %, jauh di atas angka stunting Provinsi yang berada pada angka 14,9 %. Merespons hal tersebut, Sekretaris Daerah One Andang Wardoyo meminta agar seluruh elemen Pemkab bersinergi secara kolaboratif menangani stunting. “Perangkat Daerah terkait, seperti Kementerian Agama, Dinas PPKBP3A, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial PMD, Dinas Pendidikan, Dinas Kominfo, bahkan sampai Dinas Arpusda saya minta agar berupaya lebih serius untuk menangani kasus stunting ini, karena tanpa adanya kolaborasi sinergis akan sangat sulit untuk bisa mencegahnya,” tutur Andang di tengah menyampaikan materi selaku narasumber Rakor Pengelola Bina Keluarga Balita dengan Pokja Advokasi Daerah, di Ruang Mangunkusumo, Kamis (13/8/2020).
Masih Tinggi, Kasus Stunting Perlu Ditangani Secara Kolaboratif
Penanganan kolaboratif tersebut, diuraikan Andang bisa dimulai dari masa calon pengantin (Catin) ketika hendak melaksanakan pernikahan. Para Catin tersebut, menurut Andang mesti dibekali dengan pemahaman terkait kesehatan ibu hamil, pengetahuan tentang gizi, hingga tumbuh kembang balita sebelum memasuki jenjang pernikahan. “Faktor stunting ini multi dimensi, seperti adanya praktek pengasuhan yang tidak baik karena kuranganya pemahaman tentang kesehatan anak usia 0-6 bulan, sehingga masih ada ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif atau bahkan anak hanya dititipkan pengasuhannya pada nenek atau malah tetangga,” terangnya. Dalam hal-hal seperti itu, peran kader-kader kesehatan mulai dari Kabupaten hingga Desa dinilai Andang sangat penting demi meningkatkan kesadaran para ibu menyusui untuk tetap memberikan ASI eksklusif kepada anak mereka. Secara tegas, ia meminta agar sesibuk apapun seorang ibu, pemberian ASI eksklusif harus tetap dilakukan, mengingat peran ASI tidak bisa digantikan dengan susu formula.
Senada, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Prayitno juga menyebut bahwa salah satu kunci dalam menekan angka stunting adalah dengan ASI eksklusif. “Beberapa tahun silam, bahkan saya pernah sampai diundang ke Istana Negara saat menjadi Camat karena dinilai berhasil mendorong setiap Kepala Keluarga agar menanam tumbuhan Katuk, yang dipercaya mampu meningkatkan produksi ASI pada ibu menyusui,” ungkap Prayitno. Karena itulah, dalam upaya mencegah pertambahan kasus stunting di Kabupaten Wonosobo, ia juga mengaku akan menggandeng stakeholder desa, untuk menumbuhkan kembali kearfian lokal tersebut. Dari hasil penimbangan serentak Tahun 2019 dan 2020, Prayitno mengakui ada penambahan lokus Desa stunting, dari 10 menjadi 13 Desa. “13 desa yang menjadi lokus stunting meliputi Pagerejo, Reco dan Candiyasan Kecamatan Kertek, Pulosaren dan Ropoh Kecamatan Kepil, Karangduwur Kecamatan Kalikajar, Tlogo dan Garung Lor Kecamatan Sukoharjo, Depok dan Dempel Kecamatan Kalibawang, Igirmranak dan Tambi Kecamatan Kejajar, dan Tlogojati Kecamatan Wonosobo,” bebernya. Desa-desa tersebut menurutnya akan menjadi prioritas sasaran penanganan kasus stunting, sehingga Wonosobo benar-benar bisa bebas dari kasus stunting secepatnya.
Masih Tinggi, Kasus Stunting Perlu Ditangani Secara Kolaboratif
Penanganan kolaboratif tersebut, diuraikan Andang bisa dimulai dari masa calon pengantin (Catin) ketika hendak melaksanakan pernikahan. Para Catin tersebut, menurut Andang mesti dibekali dengan pemahaman terkait kesehatan ibu hamil, pengetahuan tentang gizi, hingga tumbuh kembang balita sebelum memasuki jenjang pernikahan. “Faktor stunting ini multi dimensi, seperti adanya praktek pengasuhan yang tidak baik karena kuranganya pemahaman tentang kesehatan anak usia 0-6 bulan, sehingga masih ada ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif atau bahkan anak hanya dititipkan pengasuhannya pada nenek atau malah tetangga,” terangnya. Dalam hal-hal seperti itu, peran kader-kader kesehatan mulai dari Kabupaten hingga Desa dinilai Andang sangat penting demi meningkatkan kesadaran para ibu menyusui untuk tetap memberikan ASI eksklusif kepada anak mereka. Secara tegas, ia meminta agar sesibuk apapun seorang ibu, pemberian ASI eksklusif harus tetap dilakukan, mengingat peran ASI tidak bisa digantikan dengan susu formula.
Senada, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Prayitno juga menyebut bahwa salah satu kunci dalam menekan angka stunting adalah dengan ASI eksklusif. “Beberapa tahun silam, bahkan saya pernah sampai diundang ke Istana Negara saat menjadi Camat karena dinilai berhasil mendorong setiap Kepala Keluarga agar menanam tumbuhan Katuk, yang dipercaya mampu meningkatkan produksi ASI pada ibu menyusui,” ungkap Prayitno. Karena itulah, dalam upaya mencegah pertambahan kasus stunting di Kabupaten Wonosobo, ia juga mengaku akan menggandeng stakeholder desa, untuk menumbuhkan kembali kearfian lokal tersebut. Dari hasil penimbangan serentak Tahun 2019 dan 2020, Prayitno mengakui ada penambahan lokus Desa stunting, dari 10 menjadi 13 Desa. “13 desa yang menjadi lokus stunting meliputi Pagerejo, Reco dan Candiyasan Kecamatan Kertek, Pulosaren dan Ropoh Kecamatan Kepil, Karangduwur Kecamatan Kalikajar, Tlogo dan Garung Lor Kecamatan Sukoharjo, Depok dan Dempel Kecamatan Kalibawang, Igirmranak dan Tambi Kecamatan Kejajar, dan Tlogojati Kecamatan Wonosobo,” bebernya. Desa-desa tersebut menurutnya akan menjadi prioritas sasaran penanganan kasus stunting, sehingga Wonosobo benar-benar bisa bebas dari kasus stunting secepatnya.
Tidak ada komentar