SATU JAM TAMAN PLAZA HINGGA PENDOPO BUPATI WONOSOBO PADAM
Perpindahan Pusat Pemerintahan Kabupaten Wonosobo dari Desa Plobangan ke Wonosobo yang sekarang ini dilakukan dengan ritual Topo Mbisu. Arak-arakan aparatur pemerintahan dilakukan pada malam hari diterangi obor tanpa boleh berbicara hingga sampai ke tujuan. Prosesi perpindahan ini disebut Bedhol Kedhaton.
(Anji)
(Anji)
Sejarah Singkat Kabupaten Wonosobo
Wonosobo, satumenitnews.com - Ki Ageng Wanasaba oleh ayahnya diperintahkan untuk berguru agama Islam kepada Kanjeng Sunan Gunung Djati di Kasunanan Cirebon. Disamping untuk mendalami syariat Islam, ia juga diutus untuk mempelajari ilmu lainnya seperti ilmu pertanian.
Setelah ilmu yang dipelajari dirasa cukup, oleh kanjeng Sunan Gunung Jati ia diperintahkan untuk melakukan syiar Islam ke daerah timur dengan gelar Syekh Kabadullah. Pada saat perjalanan ia menemukan daerah yang dirasa cocok seperti pesan gurunya. Maka beliau bersama rombongan membuka hutan dan mengolahnya menjadi tempat tinggal serta lahan pertanian yang bagus. Waktu terus bergulir hingga tempat ini menjadi ramai dikunjungi banyak orang. Dari hutan yang sepi tempat itu menjadi tempat yang ramai dibawah kepemimpinan Syekh Kabadullah, hingga tempat itu dinamai Wonosobo, “Wono" berarti hutan dan “Sobo” tempat yang sering dikunjungi.
Kawasan ini semakin lama semakin besar pengaruhnya, maka beliau dipercaya untuk memimpin dengan gelar Ki Ageng Wonosobo atau Ki Gedhe Wonosobo. Selain nama ki Ageng Wonosobo sebutan lain yaitu Syekh Kabadullah atau Ki Jaka Dhukuh hingga wafat dan dimakamkan di dukuh Wonosobo, Desa Plobangan, Selomerto.
Ziarah dan Tabur Bunga ke Makam Pendiri serta tokoh Ulama Wonosobo
Foto. humas Setda kab. Wonosobo |
Menurut Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik, Didik Wibawanto, keenam makam tersebut tersebar di beberapa wilayah dan rombongan dibagi menjadi 6 kelompok. Keenam kelompok tersebut, masing-masing berziarah di makam Tumenggung Jogonegoro di Pakuncen, Selomerto, Makam Tumenggung Selomanik di Kaliwiro, dan makam Bupati Mangunkusumo, di Ketinggring, Kecamatan Wonosobo. Tiga makam lainnya, yang juga diziarahi, berturut-turut adalah makam KH Muntaha di Desa Deroduwur, Mojotengah, KH Asmorosufi di Sapuran, dan makam H Abdul Fatah di Desa Tegalgot, Kepil.
Bupati Wonosobo, Eko Purnomo, SE.MM, saat memimpin ziarah ke makam KH. Muntaha di Desa Deroduwur Kecamatan Mojotengah, menyampaikan bahwa kegiatan ziarah makam tersebut merupakan tradisi tahunan menjelang digelarnya peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Wonosobo. Selain untuk mendoakan arwah para pendiri, ziarah makam tersebut juga dimaksudkan untuk senantiasa mengingatkan generasi penerus, akan keberadaan makam-makam penting bagi Wonosobo.
Sementara untuk ziarah Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Setjonegoro, atau yang juga dikenal dengan nama Muhammad Ngarpah dan istrinya, R Ay T Setjonegoro di pemakaman umum Dusun Kauman, Desa Payaman Magelang, dilaksanakan Kamis, 19 Juli 2018.
Prosesi Bedhol Kedhaton, Awali Puncak Hari Jadi Kabupaten Wonosobo
Dimulai dari kantor Desa Plobangan, rombongan bupati berjalan kaki menuju makam pendahulu Wonosobo yaitu ke makam Ki Ageng Wonosobo untuk melakukan ziarah. Disana dilakukan upacara penghormatan serta hening cipta untuk mengenang jasa para pendahulu Kabupaten Wonosobo yang dipimpin langsung oleh bupati didampingi anggota Forkopimda dan diakhiri dengan doa bersama. Senin, 23 Juli 2018.
baca juga:
300 Anak Dapat Akte Kelahiran Gratis di Puncak HAN 2018
Peringati Hari Jadi Wonosobo, Hari Bhayangkara dan HUT Bank Wonosobo, FORKOPIMDA Ikuti Sepeda dan Jalan Santai
baca juga:
300 Anak Dapat Akte Kelahiran Gratis di Puncak HAN 2018
Peringati Hari Jadi Wonosobo, Hari Bhayangkara dan HUT Bank Wonosobo, FORKOPIMDA Ikuti Sepeda dan Jalan Santai
pengambilan Siti Bantolo di area makam. Foto. humas Setda kab. Wonosobo |
Dua Pusoko Bedhol Kedaton disimpan di Sanggar Kesenia Desa Plobangan. Foto. humas Setda kab. Wonosobo |
Setelah sampai di Sanggar Kesenian Desa, "Pusoko Bedhol Kedhaton" yang berupa tanah di sekitar Makam Ki Ageng Wanusaba disebut Siti Bantolo dan Tirto Perwitosari yang berupa air dari mata air Tuk Sampan di Desa Plobangan tersebut oleh sesepuh desa kemudian diserahkan kepada Kepala Desa Plobangan untuk disimpan sementara, menunggu prosesi selanjutnya, yaitu diserahkan kepada Bupati Wonosobo malam harinya. "Pusoko" Bedhol Kedhaton tersebut dikirab dibawa untuk diserahkan kepada bupati. Selain prosesi pengambilan dua pusaka tersebut juga diikuti penyerahan panji-panji Kecamatan Selomerto dan dimeriahkan dengan Gebyar Budaya pentas kesenian oleh masyarakat Plobangan serta sekitarnya.
Sekitar Pukul 19.48 Wib, rombongan Bedhol Kedhaton tiba di Taman Plaza Wonosobo dari Desa Plobangan. Pukul 20.00 WIB semua lampu di Jalan A. Yani mulai Taman Plaza hingga Pendopo Bupati dipadamkan, sementara rombongan Aparatur Desa Plobangan dan Aparatur Pemerintah Kabupaten mengiringi Kepala Desa beserta istrinya menuju pendopo bupati dengan membawa dua pusaka Bedhol Kedhaton yang akan diserahkan kepada Bupati Eko Purnomo.
Dalam prosesi tersebut rombongan dibagi menjadi dua bagian, yaitu aparatur desa mulai dari kepala desa hingga anggota pemerintahan desa tanpa membawa obor dan yang kedua adalah masyarakat dengan membawa obor dipimpin oleh satu orang cucuk lampah yang diibaratkan penunjuk jalan dengan membawa obor menuju pendopo bupati dengan melakukan Topo Mbisu. Ritual Topo Mbisu dalam Kegiatan Bedhol kedaton ini mengharuskan anggota rombongan tidak boleh berbicara.
![]() |
suasana tenang dan hanya terdengar langkah kaki yang terdengar |
Rombongan Bedhol Kedhaton tiba di pendopo disambut oleh Bupati Eko Purnomo. Kepala Desa Plobangan menyerahkan amanat Dua Pusaka Bhedul kedaton tersebut kepada bupati untuk kemudian air dari Desa Plobangan tersebut dicampur dengan 6 mata air lainnya untuk digunakan dalam Ritual "Birat Sengkolo" pada tengah malam pada pergantian tanggal 24 Juli 2018 yang di tengarai sebagai Hari Jadi Wonosobo Yang ke-193.
Editor. Cici
Editor. Cici
Tidak ada komentar