UJIAN NETRALITAS ITU BERNAMA DWI FUNGSI
Oleh : Eko Rahmad Widodo, Sekretaris Redaksi Tabloid Wonosobo
Bagi generasi milenial, mungkin akan sedikit sulit memahami apa itu arti Dwi Fungsi. Dikenal pada masa orde baru, Dwi Fungsi dimaknai sebagai gagasan yang diterapkan oleh Pemerintah dimana menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas. Pertama yaitu menjaga keamanan dan ketertiban negara serta kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dwi fungsi sekaligus digunakan untuk membenarkan militer dalam meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan Indonesia, termasuk kursi di parlemen hanya untuk militer, dan berada di posisi teratas dalam pelayanan publik nasional secara permanen (wikipedia online :red). Dalam hal kejadian ini terjadi sebelum tahun 2002, maka Polri adalah bagian tidak terpisahkan dari TNI. Dwi Fungsi bisa disebutkan sebagai nilai tukar tidak dimilikinya hak pilih bagi anggota TNI/Polri pada masa itu.
Namun sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998, fungsi ini mulai luntur. Terlebih sejak Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memisahkan fungsi Polri dari TNI. Kendali dua instansi ini juga dikembalikan sepenuhnya kepada presiden sebagai pelaksana fungsi eksekutif. Puncaknya, pada pemilu Presiden 2009. Dalam pasal 318 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden, secara gamblang disebutkan jika Anggota TNI dan Polri tidak menggunakan hak pilih dalam Pemilu 2009. Dari hal inilah kemudian muncul istilah Netralitas TNI/Polri. Netral bukan hanya berarti tidak boleh mendukung salah satu calon dalam Pemilu, akan tetapi termasuk menghilangkan hak pilih anggota TNI/Polri. Sempat menjadi polemik, hingga akhirnya diterima dengan alasan keamanan negara.
Sebuah alasan yang tepat mengingat 2 instansi ini merupakan garda terdepan penjaga negara. Politik TNI/Polri adalah politik negara, bukan politik partisan. Bayangkan saja jika kedua instansi ini tidak dihilangkan hak pilihnya. Bisa saja terjadi ‘civil war’ yang tentunya sangat mengancam keutuhan negara. Termasuk didalamnya penggunaan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutista) yang dimiliki kedua instansi ini. Jika ini memang terjadi, negara akan berubah menjadi sebuah medan perang hanya karena perbedaan pilihan politik.
Bagaimana dengan HAM?
Dalam Pasal 28 UUD 1945, disebutkan bahwa warga negara dijamin hak-haknya. Khususnya pada Pasal 28D ayat (3) yang menerangkan bahwa setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Adapula pasal 28E ayat (3) tentang hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang secara kontekstual dipahami sebagai hak untuk berpolitik, hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu.
Sebagai seorang warga negara, anggota TNI/Polri juga ‘seharusnya’ memiliki hak tersebut. Namun jika kita melihat lebih jauh, ada hal yang lebih penting dibandingkan dengan ‘sekedar’ menggunakan hak pilih bagi anggota TNI/Polri. Utamanya Polri, kehilangan hak memilih justru sering dianggap sebagai anugerah. Bayangkan saja, jika dalam proses Pilkada, seperti yang sebentar lagi akan digelar, banyak personel yang akan ditugaskan jauh dari tempat tinggalnya, keluar kota bahkan keluar propinsi. Kemudian bagaimana mereka akan menggunakan hak pilih jika di lokasi tugas mereka. Sementara calon yang bertarung di tempat tugas itu berbeda dengan lokasi di tempat tinggalnya.
Alasan lain yang lebih masuk akal adalah jika memang diberikan hak memilih, justru malah bisa merusak sistem yang ada. Akan timbul friksi maupun gesekan antar personel yang berbeda pilihan. Hal ini tentu saja membahayakan stabilitas keamanan negara. Bagaimana pula jika anggota polri ini menjadi pragmatis dan menolak melayani masyarakat yang berbeda pilihannya? Tentunya sangat-sangat merugikan atau bahkan dimungkinkan merusak tatanan kehidupan negara.
Sebenarnya banyak aturan yang lebih menegaskan bahwa ‘penghilangan’ hak pilih bagi anggota Polri tidak melanggar UUD 1945. Karena sebagai sebuah dasar dari segala sumber hukum, UUD 1945 hanya mengatur hal yang bersifat umum. Perlu adanya aturan lain yang lebih khusus untuk mengatur hal-hal yang spesifik. Seperti dalam pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal (1) secara jelas disebutkan jika Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Penerangan mengenai tidak digunakannya hak pilih anggota Polri tertuang dalam ayat (2) yang menyatakan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Perlu dicermati sekali lagi makna dari setiap kata dalam ayat ini. Tidak menggunakan hak memilih dan dipilih harus dimaknai sebagai memiliki hak pilih namun tidak menggunakannya demi alasan tertentu, stabilitas negara tentunya. Jika dirunut, maka hal ini tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Karena anggota Polri tetap memiliki hak pilih, dan negara tidak pernah mencabut hak pilih anggota Polri, akan tetapi hanya tidak digunakan saja.
Bagaimana dengan anggota yang mencalonkan diri dalam Pilkada?
Hal ini tidak menutup kemungkinan, meski untuk mencalonkan diri dalam pilkada harus mendapat dukungan dari partai politik maupun koalisi partai politik. Bisa jadi partai politik tersebut melihat sebuah prestasi yang bisa diunggulkan dari anggota Polri yang merepresentasikan visi dan misi mereka. Atau bahkan, anggota tersebut (nekat:red) maju sebagai calon independen.
Dalam Pemilukada serentak 2018 ini, ada enam jendral yang diusung oleh partai politik untuk ikut berkompetisi. 3 dari TNI dan sisanya dari Polri. Tidak semua dari para jendral ini telah pensiun sebelum terjadi komunikasi politik. Tercatat hanya Mayjend (Purn) T.B. Hasanudin, Calon Gubernur Jawa Barat yang jabatan terakhirnya dibidang politik sebagai Wakil Ketua Komisi I DPR RI. Sedangkan yang lain, masih merupakan pejabat di TNI atau Polri. Sebut saja calon Gubernur Sumatra Utara Letjen Edi Rahmayadi yang jabatan terakhirnya adalah Pangkostrad. Atau Mayjend (Purn) Sudrajat sebagai Dirjen Strategi Pertahanan Kementrian Pertahanan.
Sedangkan dari Polri, nama yang cukup fenomenal adalah Mantan Wakalemdiklat yang juga mantan Kapolda Jawa Barat Irjend Pol Anton Charliyan sebagai Calon Wakil Gubernur Jabar. Ataupun mantan Kakorbrimob Irjend Pol Murad Ismail sebagai calon Wakil Gubernur Maluku. Jangan pula dilepaskan Mantan Kapolda Kalimantan Timur Irjend Pol Safarudin yang dicalonkan sebagai Gubernur Kalimantan Timur.
Kita perlu melihat dalam pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pasal itu disebutkan jika anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia bisa menduduki jabatan lain diluar kepolisian, setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Pasal ini senada dengan Pasal 7 ayat (2) huruf t Undang-undang No. 10 tahun 2016 yang menyebutkan calon peserta pilkada harus menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.
Dalam dua pasal diatas, kita juga perlu meniliknya secara detail, utamanya pada kata mengundurkan diri atau pensiun dan sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan. Pertama, kalimat mengundurkan diri atau pensiun. Hal ini berarti anggota kepolisian bisa menjadi calon peserta pemilihan setelah memasuki masa pensiun. Atau, sebelum pensiun namun telah mengundurkan diri dari dinas kepolisian. Hal ini menegaskan jika dalam proses pemilihan, calon tersebut sudah bukan lagi menjadi anggota Polri. Namun batas waktunya kapan?
Penjelasannya ada pada kalimat kedua yang harus diperhatikan. Sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan. Gamblang dan secara eksplisit dinyatakan jika sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh lembaga pemilihan (dalam hal ini KPU atau KPUD), anggota Polri sudah harus pensiun atau mengundurkan diri.
Pastinya akan muncul pertanyaan, apakah saat diumumkan oleh partai politik, anggota tersebut masih boleh menjabat sebagai anggota Polri? Sesuai undang-undang, hal itu masih diperbolehkan, meski memang terasa ada hal yang sangat mengganjal. Bukankah sebelum ditetapkan sebagai calon oleh parpol, anggota tersebut pasti sudah melakukan komunikasi atau bahkan lobby politik. Dan itulah yang bertentangan dengan netralitas yang digaungkan. Tidak heran jika beberapa pakar maupun politisi berusaha mengajukan amandemen untuk aturan ini.
Sebuah contoh kasus pernah dialami oleh Polres Wonosobo dimana salah seorang anggotanya, Kompol Usup Sumanang maju sebagai Calon Wakil Bupati Wonosobo pada pemilihan tahun 2015. Meski akhirnya kalah dalam pemilihan, namun hal ini sempat menimbulkan gejolak. Kapolres Wonosobo pada saat itu, AKBP Azis Andriansyah, S.H., S.I.K., M.Hum. bahkan secara terang memerintahkan Kompol Usup Sumanang untuk mengajukan cuti panjangnya dan melarangnya melaksananakan dinas kepolisian apapun hingga proses pengunduran dirinya diterima.
Kepala Seksi Profesi dan Pengamanan (Kasi Propam) Polres Wonosobo Iptu Mus Subadi yang dimintai tanggapan berkaitan dengan hal itu di Mapolres Wonosobo, Kamis (21/6) pagi menyatakan akan menjadikan hal tersebut sebagai sebuah acuan. “Memang disayangkan jika ada anggota Polri yang kemudian memutuskan untuk terjun ke politik praktis. Namun mau bagaimana lagi. Itu adalah pilihan setiap anggota,” katanya. “Kami sendiri juga sedikit mengalami kesulitan untuk memproses kegiatan komunikasi politik anggota maupun penetapan anggota sebagai calon peserta pemilihan oleh partai politik,” tambah Kasi Propam.
Alasannya, tambah Iptu Mus Subadi, pastinya, segera setelah diusung parpol, anggota tersebut baru mengajukan pengunduran diri. “Ketika kami akan memproses kejadian itu dengan dugaan terjadi pelanggaran kode etik profesi, proses pengunduran diri anggota itu sudah berjalan. Dan pastinya akan selesai lebih cepat daripada proses penyidikan pelanggarannya,” jelasnya.
“Sementara, ancaman terberat dari pelanggaran kode etik profesi Polri adalah pemberhentian. Hal itu sudah tidak ada nilainya jika ternyata anggota itu sudah ‘memberhentikan diri sendiri’ dengan pengajuan pensiun dini dan tentunya mengesampingkan kemungkinan apakah dirinya akan menang atau kalah dalam pemilihan itu,” papar Iptu Mus Subadi. “Jadi, bukan berarti kami dari institusi kepolisian tidak mau menegakkan aturan tentang netralitas anggota, akantetapi ini merupakan celah undang-undang yang perlu dicarikan solusi oleh para legislator,” pungkasnya.
Bagaimana sejarah bicara tentang jendral dalam pertarungan politik?
Fakta sejarah memang tidak bisa dilepaskan. Banyak perang bintang terjadi dalam beberapa pertarungan politik di Indonesia. Pertama dan tentunya paling diingat adalah bagaimana seorang Jendral Besar Soeharto bisa menjadi Presiden Republik Indonesia, bahkan selama 32 tahun. Atau seorang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi presiden selama 2 periode.
Tentunya bukan hanya nama itu. Ditingkat propinsi banyak nama yang pernah muncul sebagai pemenang kontes politik yang bernama Pilkada. Contoh yang tercatat dalam sejarah adalah bagaimana perebutan kursi Gubernur Bali antara Mantan Kapolda Bali Komjen Pol I Made Mangku Pastika dan Mantan Wakapolda Bali Brigjen Pol I Nyoman Suweta yang terjadi pada tahun 2008.
Bukan hanya para Jendral yang berhasil ‘mutasi’ menjadi pejabat politik dan memenangkan pemilihan. Diluar itu, banyak juga para jendral yang hanya bisa berstatus calon karena gagal menang. Sebut nama Wiranto dalam Pilpres 2004 maupun yang terbaru Mayor Agus Harimurti Yudhoyono dalam Pilkada DKI tahun 2017. Serta tentunya, sang penantang Jokowi dalam pertarungan perebutan kursi RI-1 tahun 2014 (bahkan juga 2019), Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subiyanto. 2 naik pentas dan kalah sepertinya tidak membuat mantan Pangkostrad ini menyerah. Menempatkan diri dan partainya sebagai oposisi, menjadikannya sebagai pemelihara iklim demokrasi di Indonesia dengan mencegah hanya munculnya satu nama dalam Pilpres 2019. Hal yang tentunya perlu mendapat apresiasi.
Bagaimana polemik penunjukan Pjs. Gubernur dari TNI / Polri?
Banyaknya incumbent yang kembali maju sebagai calon kepala daerah maupun masa jabatan yang sudah habis sebelum pelantikan calon terpilih, memunculkan opsi penunjukan Pejabat Sementara (Pjs) oleh Kementrian Dalam Negeri. Hal ini juga tidak melanggar aturan. Sesuai Pasal 201 Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, Penunjukan Pjs diperbolehkan asalkan memenuhi pesyaratan baik secara kemampuan maupun kepangkatan. Aturan ini ditegaskan dengan Peraturan Mendagri Nomor 1 Tahun 2018 yang merupakan pengganti Peraturan Mendagri Nomor 74 Tahun 2016 tentang cuti diluar tanggungan negara bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
Dalam Pasal 4 ayat (1), diterangkan jika selama gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota menjalani cuti di luar tanggungan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ditunjuk Pjs Gubernur, Pjs Bupati, dan Pjs Wali Kota sampai selesainya masa kampanye. Sedangkan dalam ayat (2) disebutkan Pjs Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Provinsi.
Pantas saja jika Kementrian Dalam Negeri kemudian tidak ambil pusing dengan pelantikan Komjen Pol M. Iriawan sebagai Pjs. Gubernur Jawa Barat. Hal ini tentunya sudah mendapat persetujuan langsung dari Presiden meski pada awal kemunculan isu itu sempat menuai pro dan kontra. Bahkan dalam statementnya Mendagri Tjahyo Kumolo menyebut penunjukan Pjs ini tidak akan mempengaruhi konstelasi politik di daerah tersebut. “Hanya seminggu sebelum pencoblosan. Mau apa? Yang penting melayani masyarakat dan tata kelola pemerintahan harus berjalan dengan baik,” ungkap Mendagri seperti dikutip beberapa sumber.
Fakta sejarah juga menegaskan, penunjukan Perwira TNI atau Polri sebagai Pjs. pernah juga dilakukan untuk jabatan gubernur wilayah lain. Sulawesi Selatan contohnya. Pada tahun 2008, propinsi ini juga sempat dipimpin oleh Pjs. yang merupakan perwira tinggi TNI, Mayjend Ahmad Tanri Bali Lamo. Tidak tanggung-tanggung, nama ini juga pernah menjabat menjadi Pjs. di 3 wilayah lain yaitu Sulawesi Tengah, Papua Barat dan Maluku Utara. Hasilnya, proses demokrasi tetap berjalan baik meski Pjs. Gubernurnya merupakan perwira tinggi aktif.
Memang tidak salah jika muncul kekhawatiran penunjukan perwira tinggi aktif ini sebagai Pjs. Gubernur. Karena Jawa Barat merupakan daerah dengan tingkat kerawanan yang cukup tinggi, baik secara keamanan maupun politik. Ditambah di propinsi ini, Pilkada juga bertabur bintang. Ada tiga jendral yang bertarung, Mayjend (Purn) Sudrajat, Mayjend (Purn) T.B. Hasanudin dan Irjen Pol Anton Charliyan. Namun perlu digaris bawahi, kenapa perwira tinggi Polri yang ditunjuk, bukan Perwira tinggi TNI maupun Pejabat ASN Pusat atau Propinsi? Jawaban termudah adalah adanya Jendral Senior TNI yang bertarung. Dikhawatirkan jika yang dipilih merupakan perwira tinggi TNI, potensi main mata semakin tinggi. Dan untuk meminimalisir potensi kontra lainnya, dipilihlah Sekretaris Utama Lemhanas Komjen Pol M. Iriawan sebagai Pjs. Gubernur Jabar.
Bukankah Jawa Barat juga ada Jendral Senior Polri yang ikut bertarung? Memang benar. Namun dari hasil survey elektabilitas beberapa lembaga tentang Pilkada Jabar, Anton Charliyan memiliki tingkat keterkenalan cukup rendah. Meski hal ini tidak memastikan kekalahan, namun perlu juga digunakan sebagai landasan pemikiran. Bagaimanapun, rakyatlah yang memilih.
Demikian pula ASN. Di Jawa Barat bertarung Wagub Incumbent Dedy Mizwar yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi. Jangan lupakan pula Mantan Walikota Bandung, Ridwan Kamil yang saat ini menduduki posisi teratas elektabilitas dari beberapa lembaga survey serta calon lain yang merupakan Bupati dan Wakil Walikota. Penempatan ASN pada pos itu tetap saja akan mengundang pro dan kontra. Tidak ada opsi lain selain harus memilih mana yang lebih bisa bermanfaat bagi masyarakat sekaligus menjaga iklim politik tetap damai.
Dan ketika harus memilih siapa yang kiranya paling netral memimpin pada saat pertarungan antara 2 Jendral TNI, 1 Mantan Wakil Gubernur, 3 Bupati/Walikota, 1 Wakil Walikota dan 1 Jendral Polisi, apakah Pejabat TNI, Pejabat Polri atau ASN, saya berpendapat Pejabat Polri adalah pilihan terbaik. Memang dipastikan ada pro dan kontra. Tapi opsi inilah yang diharapkan paling tepat.
Bagaimana bisa Jawa Barat diserang kritik tajam?
Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang potensial, baik secara jumlah pemilih maupun potensi pengaruh karena merupakan salah satu wilayah penyangga ibukota. Situasi politiknya pun terlihat lebih tidak stabil. Karakter masyarakatnya lebih mudah menerima hal yang baru serta intervensi elite politik, menjadikannya sebuah lahan yang tepat untuk sasaran protes. Pola protes ini dilakukan oleh kubu oposisi pemerintah sebagai sarana melemahkan calon yang diusung partai pemerintah. Jumlah pasangan calonnya juga banyak. 4 calon. Potensi terjadinya dua putaran untuk menentukan calon terpilih juga lebih besar. Oleh hal-hal itulah, Jawa Barat menjadi salah satu sasaran empuk serangan kepada partai pro pemerintah.
Sekretaris Fraksi Demokrat DPR-RI, Didik Mukriyanto dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, bahkan secara terang menilai pelantikan Komjen Pol M. Iriawan sebagai Pjs. Gubernur Jawa Barat melanggar konstitusi, sehingga mendorong DPR membentuk Panitia Khusus Hak angket untuk mengkoreksi kebijakan tersebut.
Pemilihan Komjen Pol M. Iriawan, juga merupakan salah satu faktor pemicu. Bagaimana sepak terjang Iwan Bule (sapaan akrab Komjen Pol M. Iriawan) saat menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya termasuk alasan sekaligus titik lemah serangan. Bagaimana sosok Komjen Pol M. Iriawan yang menetapkan Habib Rizieq Sihab (HRS) sebagai tersangka chatting mesum dengan Firza Husein (FH). Meski belakangan ini Polri telah mengeluarkan SP3 atas kasus tersebut, namun cukup membuat partai oposisi pemerintahan meradang. Kepergian HRS keluar negeri yang hingga kini belum kembali, ditengarai juga merupakan salah satu trik untuk menghindar dari kasus tersebut. Hasilnya, hingga saat ini status FH belum juga diputuskan pengadilan karena masih menunggu kehadiran HRS.
Kasus HRS ini juga dinilai sebagai salah satu alasan penolakan Iwan Bule sebagai Plt. Gubernur Jabar. Tidak lain dan tidak bukan karena HRS merupakan salah satu pendukung utama partai oposisi pemerintah. Bahkan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subiyanto dan beberapa tokoh oposisi nasional, secara terang-terangan berani menunjukkan kegiatan ‘sowan’ kepada HRS saat berada di luar negeri.
Nampak seperti sebuah pencapuradukan antara penegakan hukum yang seharusnya dijunjung tinggi dengan kepentingan politik. Namun menilik jumlah massa HRS yang besar (dan tentunya memiliki hak pilih), maka memanfaatkan isu tersebut merupakan salah satu langkah paling jitu untuk menyerang kebijakan pemerintahan.
Bagaimana tanggapan Partai Pro Pemerintah?
Menanggapi polemik penunjukan perwira tinggi Polri sebagai Plt. Gubernur, Partai Pro Pemerintah justru menganggap hal itu sebagai sebuah kewajaran. Pelayanan kepentingan masyarakat adalah yang lebih utama dibanding siapa orangnya. Dikutip dari antaranews.com, Wasekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan, Achmad Baidowi mengungkapkan, untuk menyelesaikan pro dan kontra itu, perlu adanya tahapan yang harus dilalui, mulai dari dilakukannya Rapat Kerja (Raker) atau Rapat Dengar Pendapat (RDP) guna memutuskan apakah perlu dilakukan hak angket oleh DPR kepada Pemerintah.
“PPP lebih memilih menggunakan forum Komisi II DPR untuk memanggil Mendagri dan dimintai penjelasan. Kami menilai langkah itu lebih adil sehingga tidak terlalu dominan nuansa politiknya,” ungkap Ahmad Baidowi. “Jika penjelasan Mendagri dianggap jelas, maka persoalan dianggap selesai. Atau sebaliknya, jika dianggap belum selesai, maka bisa dilakukan langkah lanjutan (seperti penggunaan hak angket),” lanjutnya.
Bahkan Presiden Jokowi sendiri sampai angkat bicara mengenai pengangkatan Sekretaris Utama Lemhanas tersebut. Presiden meyakini pengangkatan Komjen Pol M. Iriawan sudah melalui proses pengkajian oleh Menteri Luar Negeri.
Dikutip dari media online nasional, keyakinan presiden itu didasari pada tahapan pengusulan Pjs. Gubernut Jawa Barat. “Mendagri tentu sudah melalui tahapan-tahapan pengkajian, juga pemikiran-pemikiran serta pertimbangan-pertimbangan, semuanya sudah dalam pengusulan pejabat Gubernur Jawa Barat,” ucap Presiden di lokasi pembangunan landasan pacu Bandara Soekarno Hatta, Kamis (21/6).
Namun Presiden enggan menjelaskan detail tahapan itu. “Silahkan tanya Mendagri, ya, usulan dari bawah. Dari Kemendagri, baru kepada kita,” tambahnya.
Bagaimana dengan Sumatera Utara?
Sebuah kabar baru mengejutkan tentang Pjs. Gubernur Sumatera Utara disampaikan Dirjen Otonomi Daerah (Dirjen Otda), Sumarsono, Kamis (21/6) sore. Mantan Pjs. Gubernur DKI itu menerangkan pengangkatan Irjen Pol Martuani Sormin sebagai Pjs. Gubernur Sumatera Utara (Sumut) dipastikan batal. Alasannya adalah jabatan Irjen Pol Martuani Sormin sebagai Kadiv Propam Polri merupakan jabatan struktural dibawah Kapolri. Penunjukkan ini dianggap tidak sesuai dengan PP Nomor 21 tahun 2002 tentang pengalihan status anggota TNI dan Polri menjadi PNS untuk menduduki jabatan struktural.
Sumarsono mengungkapkan TNI / Polri aktif yang dapat diangkat sebagai pejabat kepala daerah, hanyalah mereka yang menduduki jabatan dalam lembaga tertentu diantaranya, Kementrian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber Sandi Negara (BSSN), Lembaga Pertahanan Nasional, Dewan Ketahanan Nasional (Wantan), Badan Narkotika Nasional (BNN), bahkan diperluas di Badan Nasional Penanggulangan Terorime (BNPT), Badan Search and Resque Nasional (Basarnas) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Pengangkatan Sormin dan Iriawan adalah dua hal yang berbeda. Meskipun keduanya adalah anggota Polri aktif, namun Iriawan berada di bawah komando Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Dalam artian, tidak bertanggungjawab kepada Kapolri. Sedangkan Sormin tetap berada komando Kapolri,” tegas Sumarsono.
Selanjutnya, siapa pengganti Irjen Pol Martuani Sormin sebagai Pjs. Gubernur Sumatera Utara akan ditentukan besok. “Akan diisi pejabat eselon dari Kemendagri. Soal nama, kita lihat saja siapa yang akan dilantik besok,” ujarnya.
Sebenarnya, dari awal, fokus protes pengangkatan Pjs. Gubernur adalah di Propinsi Jawa Barat. Pembatalan penunjukan Irjen Pol Martuani Sormin tidak terlalu menarik perhatian elite politik. Entah apa alasannya, namun sepertinya pengumuman pembatalan pelantikan Irjen Martuani Sormin tidak akan berpengaruh banyak pada aksi partai oposisi untuk tetap mempermasalahkan penunjukan Komjen Pol M. Iriawan. Sekalipun kemudian yang terpilih menjadi Pjs. Gubernur Sumatera Utara adalah bukan anggota Polri, pro dan kontra itu diperkirakan akan tetap mewarnai pemungutan suara yang akan berlangsung dalam hitungan hari saja.
Bagaimana Netralitas M. Iriawan, itulah ujian sebenarnya.
Komitmen yang diungkapkan M. Iriawan pasca menjabat Pjs. Gubernur memang tidak main-main. Dalam apel perdana seusai libur cuti lebaran di Gedung Sate Bandung, Kamis (21/6) M. Iriawan mengaku siap diturunkan jika tidak netral dalam Pilkada. “Saya minta semua ASN netral. Jika tidak, maka sanksi siap membayangi sesuai aturan yang berlaku. Saya pun demikian. Saya sampaikan tadi (dalam apel) kalau saya melanggar (tidak netral dalam pilkada) komitmen saya, silakan ASN Provinsi Jawa Barat duluan yang menurunkan saya dari Pjs Gubernur Jawa Barat. Itu komitmen saya," tegas Iwan.
Dihari pertama bertugas bersama ASN Jawa Barat itu, M. Iriawan juga meminta ASN untuk fokus memberikan pelayanan prima kepada publik. “Saya akan bergerak cepat, tentu didukung oleh staf seluruhnya. Sehingga target-target yang diinginkan oleh negara bisa tercapai sesuai waktunya," tuturnya.
Publik kemudian menanti sepak terjang M. Iriawan dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pjs. Gubernur Jawa Barat. Hasil yang patut ditunggu mengingat tahapan puncak pilkada tinggal menghitung hari. Bagaimanapun juga, menjaga kestabilan situasi keamanan, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan yang terpenting proses demokrasi berlangsung dengan jujur serta adil adalah pekerjaan yang sulit tapi harus segera dilakukan. Pengalaman pernah menjabat Kapolda Jawa Barat tentunya diharapkan memudahkan M. Iriawan karena tidak perlu lagi belajar karakteristik daerah maupun masyarakat. Ketegasan, kelugasan, kebijakan dan kemampuan manajerial yang mumpuni adalah faktor pendorong keberhasilan dalam pelaksanaan tugas. Ditengah pro dan kontra yang terjadi, netralitas adalah ujian sebenarnya bagi Pjs. Gubernur Jawa Barat M. Iriawan.
Nama baik Polri juga menjadi taruhan dalam jabatan itu. Jika gagal, tidak menutup kemungkinan, kepercayaan masyarakat kepada Polri akan turun. Atau bahkan lebih parah. Jika M. Iriawan kemudian bermain politik praktis saat menjabat, bisa jadi netralitas seluruh anggota Polri juga akan dipertanyakan.
Keberhasilan dalam mencapai target tugas akan menjadi sebuah senjata yang tepat untuk membungkam semua kritik yang datang. Menepis semua pro dan kontra dengan keberhasilan adalah hal tepat yang harus benar-benar dilakukan. Sebuah tanggungjawab sepenuhnya berada di atas pundaknya. Pembuktian bahwa di dalam institusi Polri, masih banyak personel yang memiliki kemampuan dan kepemimpinan yang luar biasa. M. Iriawan hanya salah satu contohnya. Selamat dan sukses Jendral. Kami percayakan bukti netralitas Polri padamu.
Sumber :
1. Undang-undang Dasar Tahun 1945;
2. Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002;
3. Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 2008;
4. Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 2016;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2001;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2002;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2002;
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016;
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2018;
10. www.detiknews.com
11. www.antaranews.com
12. www.okezone.com
13. www.merdeka.com
14. www.tirto.id
15. www.indopos.co.id
Tidak ada komentar